Senin, 03 September 2012

ASAS KEPEMIMPINAN HINDU MENURUT ASTA BRATA


Asas Kepemimpinan Hindu (Asta Brata)
Agama Hindu merupakan suatu agama yang mengandung berbagai aspek kehidupan, salah satu aspeknya adalah mengajarkan mengenai asas kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Hindu, yang disebut dengan ajaran ASTA BRATA.

Perkataan Asta Brata terdiri atas kata “Asta” yang artinya delapan dan “Brata” yang artinya pegangan atau pedoman. Ajaran Asta Brata ini terdapat dalam kekawin Ramayana yang diubah oleh pujangga Walmiki dan terdiri atas 10 sloka. Ajaran Asta Brata ini diturunkan oleh Prabu Rama kepada Wibhisana dalam rangka untuk melanjutkan proses pemerintahan kerajaan Alengka setelah gugurnya Rahwana.

Dalam Sloka pendahulunya menyebutkan tentang sifat Sang Hyang Wihi Wasa yang menjadikan kekuatan bagi umatnya dan menggambarkan tentang kemampuan yang harus dimiliki oleh segenap pemimpin. Dalam Slokanya yang kedua disebutkan bahwa :

Hyang Indra Yama Surya Candranila Kuwera
Banyunagi nahan walu ta sira maka angga
Sang bupati matangyang inisti asta brata


Artinya :
Dewa Indra, Yama, Surya, Chandra, Anila/Bayu, Kuwera, Baruna dan Agni itulah delapan Dewa yang merupakan badan sang pemimpin, kedelapannya itulah yang merupakan Asta Brata

1. Indra Brata, Laku Dewa Indra yang selalu memberikan hujan dan air yang memungkinkan tumbuh dan hidupnya tumbuh-tumbuhan serta makhluk didunia ini, bila direnungkan lebih dalam maka terkandung ajaran bahwa pemimpin itu selalu memikirkan nasib anak buahnya, selalu bekerja untuk mencapai kemakmuran masyarakat secara menyeluruh. Pemimpin dituntut untuk bisa memupuk human relation (hubungan kemanusiaan) guna menegakkan human right (kebenaran dan keadilan).

2. Yama Brata, Laku Dewa Yama sebagai dewa keadilan dengan menghukum segala perbuatan jahat terkandung bahwa seorang pemimpin haruslah berlaku adil terhadap seluruh pengikut yang ada dengan menghukum segala perbuatan yang jahat dengan menjatuhi hukuman yang sesuai dengan besarnya kesalahan mereka dan menghargai perbuatan yang baik. Apabila pemimpin tidak bersikap adil maka akan timbul krisis kewibawaaan dan anarki dalam menjalankan tugas. Sesuai dengan hukum karma phala maka hukuman tersebut harus bersifat edukatif dimana hukuman yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan, sehingga bawahan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas kewajibannya.

3. Surya Brata, Surya Brata tersimpul ajaran bahwa seorang pemimpin dalam tugasnya harus dapat memberikan penerangan kepada anak buahnya atau bawahannya serta memberikan kekuatan kepadanya. Bawahan harus diberikan kesadaran akan tanggung jawabnya dan benar-benar menginsyafi tugas yang dipikulnya. Kalau kita perhatikan keadaan sehari-hari, ternyata bahwa matahari itu memancarkan sinarnya ke segala pelosok dunia dan menerangi seluruh alam semesta ini tanpa pandang tempat, rendah dan tinggi. Dengan demikian pemimpin hendaknya tidak jemu-jemu mengadakan hubungan dengan bawahannya sehingga mengetahui benar tentang keadaan anak buahnya atau bawahannya.

4. Candra Brata, Candra Brata tersimpul bahwa seorang pemimpin diharapkan memberikan penerangan yang sejuk dan nyaman. Seseorang akan menjadi senang dan taat apabila kebutuhannya dapat dipenuhi, baik bersifat material maupun bersifat spiritual. Dalam hubungan dengan pengertian pemenuhan kebutuhan rohani ini, Roger Bellow dalam Creatif Leadership mengemukakan sebagai berikut, Setiap orang pada hakikatnya mempunyai keinginan untuk dihargai dan sebaliknya tidak senang kalau dihina, lebih-lebih hal itu dilakukan di depan khalayak ramai. Untuk menjaga kehormatan diri anak buah, maka sebaliknya peneguran dilakukan ditempat sendiri. Ada keinginan berpartisipasi dalam pekerjaan, setiap orang ingin untuk mencreate sesuatu sehingga dengan bangga dan senang mengatakan , “Inilah hasil saya atau inilah karya dimana saya turut serta mengerjakan”. Keinginan untuk menghilangkan ketegangan. Ketegangan timbul karena seorang pemimpin menimbulkan rasa tidak enak dan tidak senang. Ketegangan ini jika segera diketahui harus segera dihilangkan. Keinginan untuk aktif bekerja dan pekerjaan itu tidak membosankan. Seorang pemimpin harus memperhatikan tugas anak buahnya, dalam waktu tertentu harus ada pergeseran jabatan, sehingga tidak membosankan anak buah.

5. Bayu Brata, Pemimpin harus dapat mengetahui segala hal ikhwal dan pikiran anak buahnya, sehingga dapat mengerti lebih dalam, terutama dalam kesukaran hidupnya maupun dalam menjalankan tugasnya, namun tidak perlu diketahui oleh anak buah. Dalam manajemen, hal ini dinamakan employee concelling. Dalam Sloka disebutkan “Angin jika mengenai perbuatan-perbuatan (perbuatan-perbuatan yang jahat), hendaknya kamu ketahui akibatnya. Pandanganmu hendaknya baik. Demikian laku Dewa bayu mempunyai sifat luhur dan tidak tamak (oleh siapapun ia dapat dimintai bantuan).”

6. Kuwera Brata, Pemimpin haruslah dapat memberikan contoh yang baik kepada anak buahnya seperti berpakaian yang rapi sebab pakaian itu besar sekali pengaruhnya terhadap seorang bawahan. Hal lain yang terkandung adalah sebelum seorang pemimpin mengatur orang lain, pemimpin haruslah bisa mengatur dirinya sendiri terlebih dahulu.

7. Baruna Brata, Seorang pemimpin hendaknya mempunyai pandangan yang luas dan bijaksana didalam menyikapi semua permasalahan yang ada. Pemimpin mau mendengarkan suara hati atau pendapat anak buah dan bisa menyimpulkan secara baik, sehingga dengan demikian bawahan merasa puas dan taat serta mudah digerakkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

8. Agni Brata, Seorang pemimpin haruslah mempunyai semangat yang berkobar-kobar laksana agni dan dapat pula mengobarkan semangat anak buah yang diarahkan untuk menyelesaikan segala pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa Asta Brata memuat faktor-faktor dalam Human Relation untuk mengarahkan seorang pemimpin dalam memandang bawahannya sebagai manusia budaya bukan manusia mesin. Memberikan kesenangan spiritual dan material yang adil, yang mempunyai inti sari dari keadilan sosial dan ajaran Tat Tvam Asi.


SUMBER :

DO'A SEHARI-HARI

Mantra sehari-hari
waktu bangun pagi:
Om, Utedanim bhagavantah syamota prapitva uta madhye ahnam, utodinau madhvantan tsuryasya vayam devanam sumantausyama.(Atharva Veda III.16.4)

“Ya Tuhan Yang Maha Pemurah! Jadikanlah kami selalu bernasib baik pada pagi hari ini, menjelang tengah hari, apalagi matahari tepat di tengah-tengah dan seterusnya. Semoga para Dewa berkenaan menganugharkan rakhmat-Nya kepada kami”.
Menggosok gigi
Om Cri Dewi Bhatrimsa Yogini namah

Om, sujud pada (sakti-Mu) Cri Dewi Bhatrimsa (dan) Yogini.
Membersihkan mulut:
Om Um Phat astraya namah.

Om, sujud kepada Um, astra Phat (itu).

Mencuci muka:
Om Um Waktra Paricuddha mam swaha.

Om, Om (dewi) membersihkan muka hamba.
Pada waktu mandi:
Om, Gangga-Amrta-Sarira Cuddha Mam Swaha.

Om, Amrta dari Gangga, membuat badan hamba suci.
Pada waktu berpakaian:
Kaupina Brahma-Samyuktah, mekhala Wisnu-Samsmrtah Antarwasewaro dewah, bandham astu Sada Ciwa.

Penutup berpakaian adalah Brahma, pengikat pinggang (adalah) Wisnu, penutup tubuh (oleh) Iswara (dan) Sada Ciwa pengikat semuanya.
Pada waktu makan: 1) Menjelang makan:
Om Hiranyagarbhah samavartatagre bhutasya jatah patikreka asit, sa dadhara prithivim dyam utema kasmai devaya havisa vidhema.

Ya Tuhan Yang Maha Pengasih! Engkau asal alam semesta dan satu-satunya kekuatan awal, Engkau yang memelihara semua mahluk, seluruh bumi dan langit. Kami memuja Engkau.
2) Sesudah makan:
Om Purnamadah purnamidam Purnat murnam adaya purnasya purnam adaya purnam evavasisyate.

Ya Tuhan Yang Maha Sempurna! Yang membuat alam sempurna. Alam ini akan lenyap dalam kesempurnaanMu. Engkau adalah kekal. Kami mendapat makanan yang cukup dan atas anugrah-Mu kami menghaturkan terima kasih.
Sebelum memulai pekerjaan atau kegiatan:
Om Avighnam astu namasiddham.

Ya Tuhan semoga tiada halngan dan berhasil.
Mohon perlindungan:
Om Apasyam gopam anipadyamanam a ca para ca prthibhih carantam sa sadhricih sa visucir vasana.

Ya Tuhan! hamba memandang Engkau Maha Pelindung, yang terus bergerak tanpa berhenti, maju dan mundur di atas bumi. Ia yang mengenakan hiasan yang serba meriah, muncul dan mengembara terus bersama bumi ini.
Mohon kebenaran (jalan yang benar):
Om A visvadevam satpatim suktai adya vrnimahe stayasavam sawitaram.

Ya Tuhan Yang Maha Agung! dengan kidung kami memujaMu, Tuhan sumber kebaikan! Engkau Maha Cemerlang yang memiliki takdir yang maha benar.
Salam Penganjali (salam penghormatan) :
Om Svastyastu.

Semoga selalu ada dalam keadaan baik (selamat) atas karunia Tuhan (Hyang Widhi Wasa).
Salam Penganjali (salam penghormatan) :
Om santhi, Santhi, Santhi, Om.

Semoga damai, damai di dunia, damai di akhirat dan damai selalu.
Doa Menjelang makan
Om Ang kang kasol kaya isana ya namah, svasti-svasti sarva deva bhuta sukha, pradhana purusa sang yoga ya namah.

Ya Hyang Widhi, yang bergelar Isana, hamba persembahkan seluruh makanan ini kehadapan-Mu, semoga semua makhluk berbahagia.
Doa Mulai Makan
Om Anugraha Amertadi sanjivani ya namah svaha.

Ya Hyang Widhi, semoga makanan ini menjadi penghidupan hamba lahir bathin yang suci.
Doa Selesai Makan
Om Dhirgayur astu, avighnam astu subham astu Om Sriyam bhavantu, purnam bhavantu, ksama sampurna ya namah svaha.

Ya Hyang Widhi, semoga makanan yang telah masuk ke dalam badan hamba memberi kekuatan, keselamatan, panjang umur dan tak kena halngan apapun. Demikian pula agar hamba mendapatkan kebahagiaan dan suka cita dengan sempurna.
Doa Selesai Makan Dapat pula menggunakan doa (mantra) berikut:
Om Annapate annasya no dehyanmi vasya susminah, pra-pra dataram taris urjam no dhehi dvipade catuspade. (Yajur Veda XI.83)

Ya Hyang Widhi, Engkau penguasa makanan, anugrahkanlah makanan ini memberikan kekuatan, menjauhkan dari penyakit. Selanjutnya bimbinglah kami, anugrahkanlah kekuatan kepada mahluk berkaki empat dan dua.
Doa saat melakukan Yadnya Sesa (Ngejot) :
“Om Sarva bhuta sukha pretebhyah svaha”.

Ya Hyang Widhi, hamba berikan sedikit kepada sarwa bhuta agar tidak mengacau.
Doa Memulai Sesuatu Kegiatan:
Om Avighnam astu namo sidham Om Sidhirastu tad astu astu svaha.

Ya Hyang Widhi, semoga atas perkenan-Mu tiada suatu halangan bagi kami memulai pekerjaan (kegiatan) ini dan semoga sukses.
Doa Mohon Inspirasi :
Om Pra no devi sarasvati vajebhir vajinivati dhinam avinyavantu. (Rg Veda VI.61.4)

Ya Hyang Widhi, Hyang Saraswati Yang Maha Agung dan Kuasa, Engkau sebagai sumber ilmu pengetahuan, semoga Engkau memelihara kecerdasan kami.
Doa Memohon Kesehatan :
Om Vata a vatu bhesajam sambhu majobhu no hrde, pra na ayumsi tarisat. (Rg Veda X.1986.1)

Ya hyang Widhi, semoga Wayu menghembuskan angin sejuk-Nya kepada kami. Wayu yang memberikan kesehatan dan kesejahteraan kepada kami. Semoga Ia memberikan umur panjang kepada kami.
Doa Mohon Bimbingan Spiritual :
Om Asato ma sadgamaya tamasoma ma tyotir gamaya mrtor ma amrtam gamaya. (Brh. Ar. Up. XL.15)

Ya Hyang Widhi, bimbinglah kami dari yang tidak benar menuju yang benar. Bimbinglah kami dari kegelapan pikiran menuju cahaya (pengetahuan) yang terang. Bimbinglah kami dari kematian menuju kehidupan yang abadi.
Doa Mohon Kebahagiaan dan Keberuntungan :
Om sarve bhavantu sukhinah sarve santu niramayah sarve bhadrani pasyantu ma kascid duhkha bhag bhavet

Ya Hyang Widhi, semoga semuanya memperoleh kebahagiaan, semoga semuanya terbebas dari penderitaan, semoga semuanya dapat memperoleh keberuntungan, semoga tiada kedukaan.
Doa Memulai Belajar :
Om Agne naya supatha raye asman visvani deva vayunani vidvan, yuyodhyasmaj juhuranam eno bhuyistam te namauktim vidhema. (Rg Veda I.189.1)

Ya Hyang Widhi (Hyang Agni), tunjukkanlah kepada kami jalan yang benar untuk mencapai kesejahteraan; Hyang Widhi yang mengetahui semua kewajiban, lenyapkanlah dosa kami yang menyengsarakan kami. kami memuja Engkau.
Doa Menghilangkan Rasa Takut :
Om Om Jaya jivad sarira raksan dadasi me, Om Mjum sah vaosat mrityun jaya namah svaha.

Ya Hyang Widhi Yang Maha Jaya, yang mengatasi segala kematian, kami memuja-Mu. Lindungilah kami dari mara bahaya.
Doa Selesai Melakukan Kegiatan:
Om Deva suksma parama acintya ya namah svaha sarva karya prasidhantam. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.

Ya Hyang Widhi dalam wujud Parama Acintya yang maha gaib dan maka karya, atas rakhmat-Mu maka pekerjaan ini sukses. Semoga damai selalu.
Doa Sebelum Tidur:
Om Yajjagrato duram udaiti daivam tad u suptasya tatha iva iti, durangamam jyotisam jyotir ekam tanme manah siva samkalpam astu. (Yajur Veda XXXIV.1)

Ya hyang Widhi, Engkau nampak jauh dari orang yang tidur, nampak jauh dari orang yang terjaga. Engkau sinar utama, yang nampak jauh itu, semoga pikiran kami senantiasa mengarah kepada Engkau, yang baik itu.
Doa Untuk Ketabahan Hidup:
Om Krdhi na udhvarny carathaya jivase.

Ya Hyang Widhi, semoga kami bisa tetap tegak dalam perjalanan hidup kami.
Doa Untuk Orang Meninggal (yang disampaikan/diucapkan saat bela sungkawa):
Om vayur anilam amrtam athedam bhasmantam sariram Om krato smara, klie smara, krtam smara. (Yajur Veda XL.15)

Ya Hyang Widhi, Penguasa hidup, pada saat kematian ini semoga ia mengingat wijaksana suci Om, semoga ia mengingat Engkau Yang Maha Kuasa dan kekal abadi. Ingat pula kepada karmanya. Semoga ia mengetahui bahwa Atma adalah abadi dan badan ini akhirnya hancur menjadi abu.
Dapat pula menggunakan doa (mantram ) berikut ini: a. Saat melihat atau mendengar orang meninggal:
Om svargantu, moksantu, sunyantu, murcantu, Om ksama sampurna ya namah svaha.

Ya Hyang Widhi, semogalah arwah almarhum mencapai sorga, manunggal dengan-Mu, mencapai keheningan tanpa suka-duka. Ampunilah ia, semoga sempurna atas Kemahakuasaan-Mu.
b. Saat mengunjungi orang sakit:
Om sarva vighna sarva klesa, sarva lara roga vinasa ya namah.

Ya Hyang Widhi, semoga segala halangan, segala penyakit, segala penderitaan dan gangguan binasa oleh-Mu.
Doa Untuk Pembukaan Rapat (sidang) atau Seminar:
Om sam gacchadhvam sam vadadhvam sam vo manamsi janatam, devo bhagam yatha purve samjanana upasate. (Rg. Veda X.191.2)

samano mantrah samitih samani samanam manah saha cittam esam, samanam mantram abhi mantraye vah samanena vo havisa juhomi. (Rg Veda X.191.3) samani va akutih samana hrdayani vah samanam astu vo mano yatha vah susahasati. (Rg Veda X.191.4)

Ya Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), semogalah pertemuan dan rapat ini mencapai satu kesepakatan. Semoga tercapai tujuan bersama, kesepakatan bersama satu dalam pikiran menuju stau tujuan. Ya Hyang Widhi, Engkau canangkan satu tujuan, tujuan bersama kami sekalian, kami adakan pemujaan dengan persembahan bersama, agar tujuan kami satu, seia dan sekata.
Doa Untuk Menutup Suatu Pertemuan:
Om dyauh santir antariksam santih prthiva santir apah santir osadhayah santih vanaspatayah santir visve devah santir brahma santih sarvam santih santir eva santih sa ma santir edhi. (Yayur Veda XXXVI.17)

Ya Hyang Widhi Yang Maha Kuasa, anugrahkanlah kedamaian di langit, damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, damai pada tumbuh-tumbuhan, damai pada pepohonan, damai bagi para Dewata, damailah Brahma, damailah alam semesta, semogalah kedamaian senantiasa datang pada kami.

SUMBER :

KIDUNG WARGA SARI

1.
Ida Ratu saking luhur, kawula nunas lugrane, mangda sampun titiang tandruh, mangayat Bhatara mangkin, titiang ngaturang pejati, canang suci lan daksina, sarwa sampun puput, pratingkahing saji.
2.
Asep menyan majegau, cendana nuhur dewane, mangda Ide gelis rawuh, mijil sakeng luring langit, sampun madabdaban sami, maring giri meru reko, ancangan sadulur, sami pada ngiring / mengiring.
3.
Bhatara/bhatarane saking luhur, nggagana / ngagoda diambarane, panganggene abra murub, parekan sami mangiring, widyadara-widyadari, pade madudon-dudon/dodonan, prabhawa kumetug, angliwer ring langit.
4.
Di bale manike luwung, mapanyengker ring telagane, kadingin tunjung tutur, tunjung abang tunjung putih, ring madyaning bale alit, Ida Bhatara mabawos, nanggit sekar jepun, sekarang ke Bali.

5.
Ring bale emase paum, linggih Ida Bhatarane, bale mas ngranyab murub, upacara sarwa luwih, luhure sutra putih, Ida Bhatara mabawos, bawose di luhur, pacang turun gelis.
6.
Asep-pejati wus katur, mendak Ida Bhatarane, peneteg lan canang arum, canang gantal / gontal canang sari, parekan pada / sami menangkil, pedek sami nunas ica, nyadpada/ngadepade menyungsung, ngaturang palinggih.
7.
Tengeran Bhatara rawuh, ketug lindu manggalane / ambarane, kilat tatit kuwung-kuwung / kawung-kawung, dumilah ngadeg ring langit, raris / riris maduluran angin, mangalinus maring jagat, rempak taru rubuh, katiban angin.
8.
Bhatara makire tedun / rawuh, anglayang diambarane, bhusanane sarwa murub, tur anunggang wyala pati, warnane angresing / angreseng hati, risampun prapti/prapta ring pura, ancangan tumurun, natasang palinggih / pelinggih.
9.
Bhatarane sampun rawuh, malinggih di padapane, meteja kencana atut / anut, parekan sampun / sami manangkil, para mancapara kulit, pada walen / prewelak pemaksan permas / pramas, sami ngagem santun, pada / pacang ngaturang / ngatur bhakti.
10.
Bhatara arsa anulu, kidul kulon lor wetane, wireh sami asri anut, laluhure sarwa putih, ulap-ulap sarwa kuning, lalangsene permas ijo, sami angulangun, sami pada becik.
11.
Unen-unene makuwug, mendag Ida Bhatarane, gong gambang gender lan angklung, guntang kalawan seketi, tapel pajegan kapuji, saron semar pagulingan, ramya pada nabuh, swaranganyih-anyih.
12.
Baris bedil mamucuk, mendak Ida Bhatarane, baris-tumbak baris tulup, gambuh parwa bali, resijojor legong rangin, luwih sanghyang jaran reko, sami sampun rawuh, Ida Hyang nyelehin.
13.
Malinggih ring gedong sampun, mungwing punika gedonge, gedong menyan gedong madu, upacara sarwa ngrawit, dumilah ring pura suci, sinaiban pajeng robrob, tuwek payung pagut, lalontek pangawin.
14.
Sasangga mwang umbul-umbul, akeh wong merca padane, padenye pada sumuyung, wrdda anom agung alit, sami pada nyadya tangkil, sami pada nunas sweca, sami pada nyungsung, sami pada bhakti.
15.
Ong / Oom awighna / awignam pakulun, mangarcana Bhatarane, mangayap / mangayat ngaturang kukus, maduluran pangabhakti, miwah sahananing suci, mangda Ida sweca nonton, turun saking luhur, kawula manangkil.
16.
Pangradanane kaluhur, maka pangundang dewane, asep menyan majegau, ambunnyane mrik sumirit, candana pada masandi, mamendak Ida Bhatara, Anggena di luhur, ngaran tiga Cakti.
17.
Sada Ciwa majagau, Prama Ciwa candanane, menyane Bhatara Guru, kukuse nepud ka langit, punika anggen pamargi / memargi, pacang turun ring kahyangan, mangda / apang gelis rawuh, manusa manyiwi.
18.
Pengsatawane / pangaksame wus puput, turun Ida Bhatarane, saking purwa Ida turun, skendran sami mengiring, Widyadara-Widyadari, sami pada papatehan, panganggene murub, sarwa ratna ngendih.
19.
Sanjata bajrane dumun, babaktan/bebaktian Widyadarane, pajeng robrob umbul-umbule, bhusanane sarwa putih raris tumurun ring bhumi, mapangawin danda kawot, ring daksina tedun, bang bhusanane ngendih.
20.
Pangastune / pangastuti kaluhur, angregepang radanane, ne ring purwa puji dumun, ring daksina ne kaasti, pascima sareng astuti, ring uthara karedana, mantuk madyeng bhayu, mayoga nganjali.
21.
Maprebhawa ketug-lindu, sumyok ujan rajane, teja ngadeg lan kauwung, sanjata pada rumihin, panganggene sarwangendih, sahanane permas rakta, galang endih murub, Iwir mrtyu sumilir.
22.
Ring pascima Ida turun, ngapaca sanjatane, saupacarane dumun, bhusana sarwa kuning, katon kadi gunung sari, payase ngrawit tinon, mapenekes gelung, sarwa mas kinandi.
23.
Ring uthara Ida turun, sami krsna bhusanane, sanjata cakrane dumun, maduluran hujan angin, kelepe pada maganti, tatit kilape macanda, anduse mangelinus, Iwir mubu ring langit.
24.
Blengbong lan ucur-ucur, peteng dedet kang limute, maring tengah Ida turun, malinggih ring candi manik, sanjata padma sinandi, bhusanane macan warna, mapan sampun puput, pangideran gumi.
25.
Iringane sami kumpul, pada becik tatane, ane ring pasamuan agung, saidering Padma-Sari, pinuji sanjata nyandi, danda cakra ngapaca, bajrane ring nyun, mapan Pan-Dewi.
26.
Brahma Wisnu wus ngrangsuk / mengerangsuk, Icwara Mahadewane, irike pada malungguh, Ciwa ring madya nyelehin, pada mangolingin linggih, Brahma tengen Wisnu kiwa, Icwara ring ayun, Mahadewa nguri.
27.
Sampun Ida maraga putus, raris munggah kegedonge, gedong ratna saking luhur, Hyang Wicwa-karma makardi, makori emas mangrawit, mangocara Windu-sara, sasocane mancur, sarwa imirah manik.
28.
Telagane maisi tunjung, wetara suranadine, papetete saking luhur, punika wantah pinuji, tunjunge masari kuning, mapalawa mas matatah, gandaya mangalup, sekar solas warni.
29.
Manik mancur mirah dadu, ratna nilalan widura, mangelencok endih murub, mangasorang tejaning rawi, pateh ring rahina wengi, ring natare makalangan, mateja kaluhune, majelijih manik.
30.
Ingideran sarwa santun, mwang sahananing sekare, sami pada mawangum, semar ganda mrik sumirit, para sutrine menangkil, menyaksinin patoyan, sami ngawe kukus, maduluran bhakti.
31.
Pangaksamane kaluhur, manunas waranugrahane, manawi kirangne katur, agung sinampura ugi, canange asebit sari, apang ica Ida nonton, nodya saking luhur, mamuputang sami.
32.
Turun tirta saking luhur, Pamangkune manyiratang, mangelencok muncrat mumbul, mapan tirta merta jati, paican Bhatara sami, panyupatan/pangelukatan dasa mala, sami / apang pada lebur, malane ring bhumi / jagat.
33.
Munggah Ida Mangeluhur, masimpen kagedong emase, gedong emas ngendih murub, mapapelok mirah adi, wenten ne nganggen pelipid, mirah ratna mungwing pucak, katon ngendih murub, tan yogya nyuluhin.
34.
Mantuk iratu mantuk, munggah maring ka gedonge, gedong maundag selikur, korinnyane mencak saji, titiang ngaturang sabit sari, asep menyan katur reko, mantuk iratu rahayu, dasarane tan mangiring.
35.
Purwakaning Angripta Rum, Ning wana ukir, kahadang labuh kartika, panedenging sari, angayom tangguli ketur, angring-ring jangga mure.
36.
Sukania harja winangun, winarna sari rumruning puspa, prijaka ingoling tangi, sampuning riris sumarwup, umungguing srengganing rejeng.
37.
Turun tirta saking luhur, tirta panca dewatene, Wisnu tirta kamandalu, hyang iswara sanjiwani, mahadewa kundalini, hyang Brahma tirta pawitra, hyang siwa pemuput, amerta kinardi.
38.
Seger-Oger kamendalu, sanjiwani pikukuhe, ngardi jagat pang rahayu, pawitra kesucian hati, trepti sandi kundalini, sadia sekala lan niskala, amerta nama rum, lana kong pinuji.

Sabtu, 01 September 2012

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN AGAMA HINDU

AWAL PERKEMBANGAN AGAMA HINDU

ARCA-KOTA KAPURAgama Hindu merupakan agama yang mempunyai usia tertua dan merupakan agama yang pertama kali dikenal oleh manusia. Agama Hindu pertama kali dikenal di India.  Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 Jaman/fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa-dewa.
1. Jaman Weda–>Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut “Rta”. Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
2. Jaman Brahmana–>Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya “Tata Cara Upacara” beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
3.Jaman Upanisad–>Pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
4.Jaman Budha–>pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama “Sidharta”, menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu makin lama semakin menyebar mulai dari India Selatan hingga keluar dari India dengan berbagai cara, sterutama melalui perdagangan bebas Internasional.
Dalam suatu penggalian di Mesir ditemukan sebuah inskripsi yang diketahui berangka tahun 1200 SM. Isinya adalah perjanjian antara Ramses II dengan Hittites. Dalam perjanjian ini “Maitra Waruna” yaitu gelar manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa menurut agama Hindu yang disebut- sebut dalam Weda dianggap sebagai saksi.
Gurun Sahara yang terdapat di Afrika Utara menurut penelitian Geologi adalah bekas lautan yang sudah mengering. Dalam bahasa Sanskerta Sagara artinya laut; dan nama Sahara adalah perkembangan dari kata Sagara. Diketahui pula bahwa penduduk yang hidup di sekelilingnya pada jaman dahulu berhubungan erat dengan Raja Kosala yang beragama Hindu dari India.
Penduduk asli Mexico mengenal dan merayakan hari raya Rama Sinta, yang bertepatan dengan perayaan Nawa Ratri di India. Dari hasil penggalian di daerah itu didapatkan patung- patung Ganesa yang erat hubungannya dengan agama Hindu. Di samping itu penduduk purba negeri tersebut adalah orang- orang Astika (Aztec), yaitu orang- orang yang meyakini ajaran- ajaran Weda. Kata Astika ini adalah istilah yang sangat dekat sekali hubungannya dengan “Aztec” yaitu nama penduduk asli daerah itu, sebagaimana dikenal namanya sekarang ini.
Penduduk asli Peru mempunyai hari raya tahunan yang dirayakan pada saat- saat matahari berada pada jarak terjauh dari katulistiwa dan penduduk asli ini disebut Inca. Kata “Inca” berasal dari kata “Ina” dalam bahasa Sanskerta yang berarti “matahari” dan memang orang- orang Inca adalah pemuja Surya.
Uraian tentang Aswameda Yadnya (korban kuda) dalam Purana yaitu salah satu Smrti Hindu menyatakan bahwa Raja Sagara terbakar menjadi abu oleh Resi Kapila. Putra- putra raja ini berusaha ke Patala loka (negeri di balik bumi= Amerika di balik India) dalam usaha korban kuda itu. Karena Maha Resi Kapila yang sedang bertapa di hutan (Aranya) terganggu, lalu marah dan membakar semua putra- putra raja Sagara sehingga menjadi abu. Pengertian Patala loka adalah negeri di balik India yaitu Amerika. Sedangkan nama Kapila Aranya dihubungkan dengan nama California dan di sana terdapat taman gunung abu (Ash Mountain Park).
Di lingkungan suku- suku penduduk asli Australia ada suatu jenis tarian tertentu yang dilukiskan sebagai tarian Siwa (Siwa Dance). Tarian itu dibawakan oleh penari- penarinya dengan memakai tanda “Tri Kuta” atau tanda mata ketiga pada dahinya. Tanda- tanda yang sugestif ini jelas menunjukkan bahwa di negeri itu telah mengenal kebudayaan yang dibawa oleh agama Hindu.

PENYEBARAN AGAMA HINDU DI INDONESIA

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertama kalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.
Beberapa Teori tentang masuknya Agama Hindu di Indonesia:
Krom (ahli – Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul “Hindu Javanesche Geschiedenis“, menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
Mookerjee (ahli – India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
Moens dan Bosch (ahli – Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.
Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:
Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

SEJARAH SINGKAT AGAMA HINU DI INDONESIA

Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh para Musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para Musafir dari Tiongkok yakni Musafir Budha Pahyien. Ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman”. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara“.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.
Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu”
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: “Sruti indriya rasa”, Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada  ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan  menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

selamat pagi agan - agan semua.......
ane bukan nya promo ne, ane cuma mau belajar menjadi bloger
jadi sekarang ane coba posting walaupun ane belum punya bahan apa apa.